Rabu, 19 Mei 2010

Merespons Ekstremitas Perubahan Musim

20 Mei 2010
Tajuk Rencana

Merespons Ekstremitas Perubahan Musim

 

Banjir yang menerjang sejumlah daerah pada Mei ini, bagaimanapun adalah bagian dari akibat ekstremitas perubahan musim yang dalam beberapa tahun terakhir telah kita rasakan. Biasanya, menurut ilmu titen masyarakat, hujan di daerah seperti Kota Semarang akan memuncak pada bulan-bulan Januari - Februari, lalu Maret hingga April masuk ke transisi musim panas, dan Mei sudah memasuki kemarau. Walaupun fenomena perubahan musim sudah dirasakan, rasanya kita tetap saja dibuat terkejut.

Genangan air di sejumlah daerah cenderung meninggi karena curah hujan yang juga tinggi. Apakah ini anomali musim atau kondisi yang sudah bisa diprediksi, kiranya kesiapan untuk menghadapi realitas perubahan cuaca dan musim itulah yang perlu disiapkan. Mulai dari penatalaksanaan kesiapan lingkungan keseharian, kalkulasi di bidang pertanian (termasuk pertambakan), dan adaptasi untuk menyiapkan pangan dalam menghadapi musim berikut yang boleh jadi juga masih dipengaruhi oleh kondisi yang tak menentu.

Pengamat lingkungan dari Universitas Muria Kudus, Hendy Hendro Sudjono yang menganalisis informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika Jawa Tengah memperkirakan, sepekan mendatang curah hujan akan kembali meningkat. Dalam sebulan debit hujan cenderung meningkat di atas 50 milimeter, dan intensitasnya bisa terjadi setiap hari, terutama menjelang malam hingga pagi. Kondisi itu dipicu oleh tekanan rendah di Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik, yang menyebabkan hujan merata di sebagian wilayah Indonesia.

Perubahan musim yang ekstrem itu bisa diindikasikan dari sejumlah fakta: hujan mundur hingga bulan-bulan yang seharusnya sudah memasuki masa transisi, atau musim kemarau masih memanggang justru pada bulan-bulan ketika udara biasanya mulai basah. Penjelasan-penjelasan ilmiah dari otoritas terkait bisa dibaca sebagai warning untuk merespons. Misalnya bagaimana menyikapinya terkait dengan adaptasi sektor pertanian dan pertambakan, juga bagaimana seharusnya kearifan kita dalam memperakukan lingkungan.

Pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan, mungkin akan menemukan muara “kambing hitam” secara mudah, dengan mengatakan apa yang terjadi sekarang merupakan akibat dari pengaruh pemanasan global. Padahal munculnya kondisi-kondisi tertentu — yang mudah menyebabkan banjir misalnya — tentu tidak mungkin tanpa adanya pemicu dari sikap-sikap manusia. Mulai dari berbagai keputusan tentang kebijakan tata ruang, kebijakan ekonomi, dan naluri eksploitatif manusia.

Apa yang kita rasakan sekarang: kekacauan tata ruang di sejumlah wilayah, produk sektor pertanian yang sulit diprediksi karena anomali musim, atau lingkungan permukiman yang tidak sehat, bagaimanapun tidak lepas dari realitas teori sebab-akibat. Benar, fenonema pemanasan global memang memberi andil besar bagi hilangnya keseimbangan ekosistem, namun ekstremitas perubahan musim seperti fakta curah hujan tinggi justru pada bulan kering seperti sekarang, menuntut kearifan kita dalam menyikapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar