Rabu, 19 Mei 2010

Politek Ija Krong


Politek Ija Krong
Oleh : Nasruddin

Disaat mentari tunaikan janji, wajah remang malam terlihat dibalik senja yang sebentar lagi akan pergi jua, satu panggilan terdengar yang ternyata ada dari nara sumber yang terjanjikan sore tadi 20 april 2010. menuju ketempat narasumber berada memang membutuhkan waktu yang hamper satu jam, sepeda motor melaju dengan standar disaat melintasi jalan P.Nyak Makam, terasa pantat ini lain ada apa ini, kempes ternyata, kami pun mendorong sepeda motor sejauh 200 meter dari arah semula bocor ban kami menemukan orang tampal ban disimpang kampong pinang.
Proses tmpal ban pun selesai setalah membayar jasanya 10.000 kondisi kemungkinannya dengan harga yang demikian. Sosdem? Social
demokrasi, aku sendiri memang kurang memamahi bagaimana budaya sosdem didearah yang pertama sekali adanya calon independent yang tampil dalam pesta besar pemilihan kepala provinsi serta kepala kabupaten. Hal-hal demikian terpikir dalam perjalanan menuju narasumber yang mungkin nantinya ada pandangan yang signifikan, lorong samping gereja itu kami masuk menuju rumahnya, nara sumber yang saya temui seorang tokoh muda yang berasal dari negeri siegupai yaitu Fadhli Ali, sambutan ramah mengiringi sambutan menuju pada satu ruang disitulah kami duduk sambil mengatakan bahwa rentetan bahasa tak tersusun dalam pertemuan ini. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baja muncul dengan membawa tiga gelas yang berisi air berwarna merah, ternyata ada satu piring lagi yang terisi gorengan, sambil mengisap rokok kami mulai berbicara tentang sosdem dalam sudut padang budaya memilih masyakat.

Budaya demokrasi itu belum ada perubahan dalam tingkat cara orang menentukan hal mempengaruhi cara orang untuk memilih dalam budaya politik masyarakat. Seperti jumlah pemilih yang  rasional di Aceh masih dibawah 45%, selebihnya ditentukan oleh factor keluarga, sentemen agama, wibawa yah al-hal seperti itu yang menentukan. Belum ada satu perubahan budaya politik yang signifikan, orang akan melakukan pilihan setelah membanding-bandingkan ini program partai A, ini program partai C, itu baru ada pergeseran budaya politik. Masyarakat banyak memilih karena hubungan emisional. Demokrasi sebetulnya hubungan cukup erat kedewasaan dan kualitas demokrasi ditentukan oleh factor pertama pendidikan, makin bagus pendidikan maka makin rasional untuk memilih, kedua ada kegiatan masalah ekonomi pada masyarakat paling sejahtera dimana kelas menenggah semakin banyak kualitas demokrasinya akan semakin baik, budaya demokrasinya akan semakin baik, sering kita mendengar dan bahkan sebetulnya kalau upaya penenggak hokum dilakukan bisa ditemukan tentang money politics, bisa dibuktikan tapi kalau memang upaya pengawasan lemah itu tetap akan terjadi berulang-ulang. Kenapa money politics itu terjadi karena masyarakat kita masih miskin, tapi kalau kita pergi sama orang ada duit ketika kita kasih 100 ribu kita suruh pilih, orang itu pasti akan berkata untuk apa dikasih uang saya sendiri ada uang, itu sangat berpengaruh, selain factor ekonomi dan pendidikan ada hal lain yang lebih berpengaruh seperti media sosialisasi, media tentang pendidikan politik oleh partai, partai-partai itu tidak ada , coba dicek dari sekian banyaknya partai politik, partai politik mana yang melakukan kampaye termasuk kampaye dialogis hamper tidak ada.
Masyarakat memang memilih, tapi apakah yang dipilih itu karena programnya partai tersebut bagus atau karena ada factor-faktor lain, factor wibawa, itu karena factor yang tidak rasional tapi memang  dalam politik hal demikian diperlukan dan itu wajar. Oh itu kita karena anak abu polan, karena anak abu polan, emangnya abu nya yang naik, abunya memang berkualitas tapi yang naik ini anaknya, emang anaknya ada kualitas, ini yang belum ada tingkat tertentu dalam menentukan pilihan. Karena budaya politik itu tidak jauh berubah dengan periode-periode orde baru, seperti dulu hanya coblos satu saja, seolah-olah itu sudah pergi ke haji, tetapi apa yang telah dilakukan oleh partai demikian ya tidak ada sama sekali, seperti seseorang yang naik dua periode sebagai anggota DPR RI , jalan dikampungnya saja tak diperbaiki apalagi air sumur keruh kekuningan, seorang putra daerah, kenapa dipilih lagi karena factor orang tuanya, nama besar yang dititipkan sama anaknya, tapi apakah dia memikirkan sesuatu kekampungnya saya lihat  tidak ada. Itu refleksi dari budaya politik masyarakat.
Kejenuhan masyarakat akan janji actor-aktor politik itu ada pengaruhnya, sudah kita pilih tapi tidak ada apa-apanya, itukan kecendrungan dimasyarkat, tetapi kembali kita tanya sama masyarakat orang dipilih itu apa indikatornya sehingga memilih orang itu apakah itu rasional berdasarkan kualitas, karena ada program kerja yang diharapkan dari sosok tersebut atau ada factor, fakto  kain sarung, faktor dikasih baju, kalau itu dasar pertimbangan lalu menjatuhkan pilihan pada orang tersebut jadi yang didapatkan hanya kekecewaan masyarakat tersebut semakin mendalam namun tidak bisa kita salahkan juga masyarakat sepenuhnya karena masyarakat sudah berulang kali dibohongi oleh elit politik, dibohongi.  walaupun masyarakat memiliki kontribusi melahirkan pembohong-pembohong bagi masyarakat tersebut  akhirnya mencoba-coba pada elit-elit baru, jadi saya pikir yang ditemukan juga bukan satu solusi untuk kesejahteraan, masyarakat tetap berada dalam kesalahan yang sama, hal demikian terjadi karena pemahaman, wawasan, pendidikan dalam menseleksi siapa yang layak dipilih itu belum ada kemampuan.
Coba kita Tanya sama salah satu masyarakat ketika memilih anggota DPR, masyarakat idealnya  harus tahu orang yang seperti apa yang dibutuhkan yang duduk di DPR terkait dengan tugas dan fungsinya, fungsi DPR itu cuma tiga legislasi, anggaran, pengawasan jadi untuk tugas yang ketiganya itu orang yang seperti apa  yang duduk di DPR dalam kapasitas bisa menjalankan fungsinya, ketika masyarakat memiliki pemahaman seperti apa yang diperlukan  untuk pekerjaan-pekerjaan DPR itu maka masyarakat akan tahu dan mengerti criteria seperti apa yang harus dipilih tapi karena masyarakat kurang memahami hal demikian ya seperti seperti itu selalu apa yang jadi masalah, sudah seperti itu salah masyarakat lagi karena partai politik sendiri ka n ada fungsi, melakukan regenerasi/kaderisasi kepemimpinan bangsa untuk melahirkan calon-calon pemimpin, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Selama ini  partai politik tidak melakukan karena masyarakat bagi sebagian partai politik berkepentingan masyarakat itu bodoh biar gampang dikibul-kibuli sehingga tinggal berlomba-lomba siapa yang banyak cetak baju, siapa yang banyak siapkan uang untuk dibagi-bagikan menjelang hari H, coba kita lihat pemilu 2009, banyak partai politik tidak melakukan kampaye bahkan seolah-olah partai itu sudah menyerah tapi dua atau tiga hari sebelum hari H mereka bergerak dengan  kekuatan logistic, sedangkan yang sudah kampaye  dialogis, kampaye rapat umum itu tidak menang.
Adanya unsur kesengajaan dari partai politik untuk tidak melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat karena kalau masyarakat sudah pintar, masyarakat sudah rasional maka partai-partai yang menjadi pilihan masyarakat adalah partai-partai yang programatik, itu boleh disurvei bertanya kepada masyarakat apa sebetulnya tugas dan fungsi DPR itu menurut masyarakat tersebut, tidak tau mau bilang apa, kenapa masyarakat tidak tahu karena partai politik baik saat kampaye ssecara dialogis, rapat umum maupun didalam berbagai media dan berbagai kesempatan dia tidak jelaskan itu, jadi tantangan untuk merobah budaya politik ini juga harus dimulai dengan pendidikan pendidikan politik  pada masyarakat, selama pendidikan politik terhadap masyarakat tidak dilakukan maka budaya politik tidak akan pernah berobah, ya kalau ada perubahan itu tidak signifikan, misalnya pemilu 2009 akan berbeda dengan pemilu 2014 nanti, kualitasnya akan lebih baik itu disebabkan karena pergantian regenerasi. Jumlah regenerasi terdidik itu bertambah banyak  karena wawasan, pengetahuan, pendidikan mencari sendiri tapi tidak ada upaya dari partai politik termasuk pemerintah, pemerintah tidak ada yang memberikan pencerahan-pencerahan politik terhadap masyarakat.
Dengan membiarkan masyarakat bodoh tidak ada upaya memberikan pencerahan-pencerahan politik, saya pikir memang itu yang di inginkan supaya gampang  untuk dimanfaatkan lagi, sekarang kita katakanlah aktor-aktor dominant pemenang pemilu apa ada upaya memberikan hal itu kepada masyarakat atau ada kekuatan masyakat sipil yang lain yang mendorong hal demikian, Pilkada nanti “orang miskin dilarang jadi bupati”, “orang miskin dilarang jadi gubernur” menyoe hana peng bek (kalau tidak ada uang jangan), ungkapnya dalam bahasa Aceh.
Sebagian besar saya melihat mereka bukanlah aktor-aktor  yang memiliki kapasitas yang cukup duduk di DPR, dalam artian banyak sekali didaerah kita ini pemimpin itu lahir  dengan menendang-menendang kaleng susu bukan melalui pengkader, dia tidak dipersiapkan jadi pemimpin dan dia juga tak mempersiapkan diri sehingga ketika dia duduk disana dia akan belajar, makanya di Indonesia banyak program bintek menyekolahkan anggota DPR, inikan sudah diluar koridor, partai politik lah yang melakukan pengkaderan yang akan memimpin baik dilevel kabupaten, propinsi maupun pusat. Jadi kalau kita sepakat bahwa gaji DPR itu dari pajak-pajak rakyat , uang rakyat  maka rakyat cuma membayar orang-orang yang akan belajar  mempelajari apa yang akan dia kerjakannya.
Harus ada gerakan yang lebih besar untuk melakukan penyadaran penyadaran politik, persoalannya bukan menang dan kalah tapi lebih kepada kualitas, pada kualitas orang yang lahir satu proses politik. Upaya mengiring pemilih oleh penyelenggara pemilu baik panwaslu maupun KPU agar pemilih itu menjadi pintar dan menggunakan hak pilihnya itu juga sangat terbatas.
Termasuk mengenai dana aspirasi inikan sudah menimbulkan polemic, karena kecendrungan dana aspirasi itu dipakai dalam penentuannya boleh tidak boleh menggunakan uang itu bukan ditentukan oleh dinas.
Harapan social demokrasi kedepan ini harus lebih meningkatkan kualitas tentang pemahaman masyarakat pemilih, lebih berwawasan, berpengetahuan, pendidikan akan meningkatkan pemehaman masyarakat pemilih kalau itu tidak ada maka demokrasi di masyarakat tidak akan meningkat. Katanya sambil menutup pembicaraan.***
Tulisan ini sudah dimuat di Majalah NANGGROE
Edisi May-Juny 2010
Halaman 23-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar